Wakil Ketua MPR Arsul Sani tak menampik penundaan Pemilu memang bisa dilakukan, yaitu dengan mengamandemen Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Namun, ia menegaskan tindakan tersebut amoral.
"Penundaan Pemilu memang bisa dilakukan dengan amandemen UUD oleh MPR. Namun menurut saya secara moral konstitusi tidak pas untuk melakukan amandemen UUD jika MPR tidak bertanya dulu kepada rakyat secara keseluruhan apakah rakyat setuju pemilu ditunda," katanya dalam keterangan yang diterima Populis.id pada Senin (07/03/2022).
Ia menegaskan apabila hanya mengandalkan kekuasaan formal MPR untuk merubah UUD NRI 1945, maka syarat Pasal 37 UUD bisa dipenuhi. Akan tetapi, ia menilai kesan "abuse of power" oleh MPR tidak akan bisa dihindari.
"MPR bisa saja langsung melakukan amandemen jika hanya mengacu pada syarat formal saja. Namun pendapat masyarakat juga harus dipertimbangkan, mengingat sangat mungkin terjadi gejolak jika ini dipaksakan," tuturnya.
Arsul menilai, UUD NRI 1945 jelas menetapkan bahwa pemegang kedaulatan di Indonesia ini adalah rakyat.
Baca Juga: Sindir Fikri Bareno, Denny Siregar Nyeletuk: Seorang Buya Salah Gerakan Salat ?
Menunda pemilu itu berarti menunda hak konstitusional pemegang kedaulatan untuk memilih para pengemban mandat yang akan melaksanakan kedaulatan tersebut untuk masa 5 tahun yang akan datang.
"Nah secara moral sebagai anggota MPR-RI saya melihat tidak elok bahwa sebagai pemegang mandat kedaulatan, MPR justru mereduksi hak pemilik kedaulatan, yakni rakyat. Jika tanpa bertanya kepada rakyat itu sendiri yang memiliki kedaulatan," tegasnya.
Jadi, kata dia, baginya tidak cukup hanya mengandalkan landasan formal Pasal 37 UUD NRI 1945, tanpa diikuti dengan bertanya kepada rakyat.
"Apakah mereka setuju hak konstitusional-nya untuk memilih pemegang mandat 5 tahunan baik di rumpun eksekutif maupun legislatif ditunda?" ujarnya.