Presiden Jokowi menjadi sorotan media asing, yaitu The Economist setelah wacana penundaan pemilu 2024 menggema di tengah krisis ekonomi karena pandemi Covid-19.
Media asal London, Inggris itu menyoroti masa depan Presiden Jokowi dengan adanya wacana penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan.
"The economist, media yang sangat terpengaruh dan prestisius dan berbasis di London Inggris, menurunkan sebuah artikel yang sangat menarik mengenai masa depan politikJokowi," kata Konsultan media dan politik, Hersubeno Arief dikutip dari PikiranRakyat.com, Senin (28/3/2022).
Baca Juga: Gegara Polemik Pemilu Ditunda dan Minyak Goreng, Kepuasan Kinerja Jokowi Menurun Signifikan
The Economist menerbitkan artikel berjudul Joko Widodo is considering extending his term in office pada Sabtu, 26 Maret 2022.
Dalam artikel tersebut, seperti dilihat Populis.id, Jokowi digambarkan sebagai Presiden Indonesia yang lahir dari rakyat kecil. Bukan berasal dari golongan tentara atau elite negara seperti presiden Indonesia sebelum Jokowi.
Terpilihnya Jokowi pada tahun 2014, digambarkan The Economist sebagai bentuk demokratisasi Indonesia. Hal itu, tidak terlepas dari gaya politik Jokowi yang dikenal merakyat, seperti sering blusukan ke pasar-pasar hingga masuk ke gorong-gorong untuk mengecek saluran air.
Namun, melansir The Economist, antek-antek Jokowi (dalam hal ini Luhut) disebut menginginkan adanya perubahan konstitusi agar masa jabatan presiden diperpanjang.
Sementara itu menurut Hersubeno Arief, dalam artikel The Economist, Jokowi digambarkan tengah berjuang menghadapi risiko kembar.
Risiko kembar atau Twin Risk tersebut terdiri dari risiko politik dan risiko ekonomi.
"Jokowi digambarkan oleh the economist saat ini tengah berjuang memperpanjang masa jabatannya," ucap Hersubeno Arief.
"Dan dalam pengamatan the economist, Jokowi itu tengah menghadapi resiko politik dan ekonomi yang disebutnya sebagai resiko kembar atau Twin Risk," lanjutnya.
Hersubeno Arief kemudian membeberkan dua jenis risiko politik yang disebutkan oleh The Economist.
"Resiko politik berasal dari kalangan internal partai pendukungnya yang menolak amandemen konstitusi yang memungkinkan dia untuk memperpanjang masa jabatannya," katanya seperti dikutip PikiranRakyat.com.
Lebih lanjut, kata dia, risiko ekonomi berasal dari polemik minyak goreng dan kenaikan berbagai harga komoditi.
"Sementara risiko ekonomi adalah krisis berupa kelangkaan minyak goreng, kenaikan berbagai komoditi, termasuk juga gedung yang dipicu oleh perang antara Rusia dengan ukraine," tutur Hersubeno Arief.
Dia pun menyoroti bagaimana The Economist memberikan peringatan terhadap Jokowi.
"Bila tidak hati-hati mengelolanya, the economist memperingatkan Jokowi yang naik ke tampuk kekuasaan atas dukungan dari masyarakat di kelompok populis maka dia juga bisa dijatuhkan karena kemarahan rakyat yang dulu mendukungnya," ujarnya di kanal YouTube Hersubeno Point.