Fleksibilitas Nadiem dan Raibnya Frasa Madrasah

Fleksibilitas Nadiem dan Raibnya Frasa Madrasah Kredit Foto: Adeng Bustomi

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) baru-baru ini dikabarkan tengah merancang revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) sebagai formulasi masa depan pendidikan Indonesia. RUU baru tersebut rencananya akan menjadi pengganti UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang sudah dipakai 19 tahun lamanya.

Adapun konten RUU gagasan Mendikbudristek Nadiem Makarim beserta jajarannya tersebut kini tengah menjadi sorotan lantaran hilangnya frasa 'madrasah' sebagai salah satu satuan pendidikan di Indonesia. RUU Sisdiknas tersebut hanya mencantumkan istilah 'sekolah' tanpa menyebut spesifik frasa 'madrasah'.

Sementara itu, dalam UU Sisdiknas sebelumnya, madrasah secara spesifik ditetapkan sebagai satuan pendidikan di Indonesia layaknya satuan pendidikan lainnya seperti sekolah.

Dalam aturan UU Sisdiknas yang lama, madrasah telah diatur sebagai salah satu bentuk pendidikan dasar yang mana tercantum dalam Pasal 17 ayat (2), yang mana berbunyi 'Pendidikan dasar berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (MTs) atau bentuk lain yang sederajat'.

Sementara dalam draf RUU Sisdiknas yang baru, hanya diatur tentang pendidikan keagamaan dalam pasal 32 dan sama sekali tak menyebut frasa 'madrasah'. Adapun bunyi pasal tersebut yakni 'Pendidikan Keagamaan merupakan Pendidikan yang mempersiapkan pelajar untuk menguasai pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang menjadi landasan untuk menjadi ahli ilmu agama atau peranan lain yang memerlukan penguasaan ajaran agama'.

Padahal, madrasah sendiri memiliki nilai historis dalam dunia pendidikan Tanah Air. Banyak pihak yang menilai jika madrasah merupakan sebuah bentuk pendidikan dasar yang telah banyak berjasa terhadap perjalanan Indonesia.

Baca Juga: Peran Madrasah di RUU Sisdiknas Harusnya Diperkuat, Bukan Dihilangkan

Baca Juga: Nawasiana

Atas dasar itulah, keputusan Kemendikbudristek tersebut akhirnya menuai kritik dari banyak pihak, khususnya dari kalangan umat Islam, mengingat madrasah identik dengan dunia keislaman.

Salah satu kritik yang muncul berasal dari Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid (HNW). Menurutnya, Kemendikbudristek seharusnya memahami tujuan pendidikan nasional secara benar.

Dirinya menegaskan bahwa dalam UUD NRI 1945 telah secara eksplisit menyebutkan tujuan pendidikan nasional sangat terkait dengan agama dan terminologi keagamaan. Menurutnya, satuan pendidikan keagamaan seperti Madrasah sangat penting dalam sistem pendidikan nasional.

"Penghapusan Madrasah dalam RUU Sisdiknas yang beredar tidak sesuai dengan teks dan spirit UUD NRI 1945 pasal 31 ayat 3 dan 5 yang menekankan pentingnya pendidikan demi mewujudkan insan bertaqwa dan menjunjung tinggi nilai agama. Sehingga wajar bila ditolak oleh masyarakat luas," katanya pada Selasa (29/03/2022). 

HNW berpendapat seharusnya Kemendikbudristek melalui RUU Sisdiknasnya berperan memayungi, mengakui dan mengembangkan seluruh bentuk satuan pendidikan yang diakui, oleh masyarakat dan Negara, alih-alih menghapuskan institusi Madrasah dan memperbesar diskriminasi antar satuan pendidikan tersebut.

Dia pun lantas menyinggung RUU Sisdiknas di masa Orde Baru Presiden Soeharto yang mana menetapkan madrasah bukan merupakan bagian dari satuan pendidikan Nasional. Barulah di masa Reformasi, yakni dalam RUU Sisdiknas tahun 2003, terdapat revisi yang menetapkan madrasah sebagai salah satu bentuk pendidikan Nasional.

"Tidak disebutkannya Madrasah merupakan langkah mundur ke tahun 1989, kembali ke masa Orba. Di mana dalam UU Sisdiknas waktu itu (UU No. 2/1989) disebut Madrasah bukan merupakan bagian dari satuan pendidikan Nasional," sambungnya. 

"Karenanya jika ada Revisi UU Sisdiknas, maka itu dalam rangka menghadirkan keadilan dan posisi yang seimbang antara madrasah dan sekolah. Bukan justru menghapus Madrasah sebagai satuan pendidikan formal yang diakui oleh Negara," pungkasnya.

Kritik juga datang dari pihak Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang mana diungkapkan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) MUI, Amirsyah Tambunan. Dirinya dengan tegas menyatakan menolak RUU Sisdiknas yang menghapus frasa madrasah tersebut.

"Saya menolak hilangnya kata madrasah dalam RUU Sisdiknas karena (didasari) banyak alasan," ujar pria yang akrab disapa Buya Amirsyah itu, Selasa (29/3/2022).

Adapun alasan yang dimaksudnya antara lain yakni, secara konstitusional, UUD 1945 Pasal 31 ayat (3) mengamanatkan kepada Pemerintah untuk mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.

Selain itu, lembaga pendidikan madrasah secara historis telah banyak melahirkan tokoh-tokoh nasional. Sehingga, untuk kesinambungan pendidikan nasional, penting dan harus dicantumkan madrasah sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. Kemudian, secara sosiologis, pendidikan madrasah sangat dibutuhkan masyarakat Indonesia, khususnya dari kalangan anak-anak.

"Atas dasar itu saya menolak penghapusan pendidikan madrasah dalam RUU Sisdiknas," tegas Amirsyah.

Serupa, baru-baru ini Ketua Bidang Dakwah dan Ukhuwah MUI, KH Cholil Nafis juga turut mengkritisi dan menolak hilangnya frasa tersebut dari RUU Sisdiknas. Menurutnya, penghilangan istilah madrasah dalam RUU Sisdiknas dianggap sudah menghilangkan jejak sejarah. 

Dirinya memaparkan bahwa frasa madrasah sudah ada jauh sebelum istilah SMP dan SMA ada. Selain itu, hasil didikan dari madrasah juga kini ada yang menjadi presiden, wakil presiden, menteri, DPR dan lain-lain.

“Istilah Madrasah sudah ada sebelum SMP/SMA itu ada. Hasilnya pendidikannya ada yg jadi presiden, wapres, menteri, DPR dan lain-lain. Kok yo RUU Sisdiknas tak menyebutkan madrasah apalagi mau ganti nama atau hanya penjelasan aja. Menghilangkan jejak sejarah atau anti istilah Arab itu tak benar," ujarnya dalam cuitannya di Twitter, Rabu (30/3/2022). 

Baca Juga: Imam Shamsi Kritik Diksi Madrasah yang Diduga Dihilangkan di RUU Sisdiknas: Bukti Alergi Berbau Agama?

Tak hanya itu, salah satu ormas Islam terbesar di Tanah Air, PP Muhammadiyah, juga turut menyoroti hilangnya frasa madrasah dari RUU Sisdiknas rancangan Nadiem tersebut. Pihak PP Muhammadiyah menilai hal tersebut dapat menimbulkan efek besar.

Menurut Sekretaris Umum (Sekum) PP Muhammadiyah Abdul Mu'ti, efek besar yang dimaksud tersebut di antaranya dikotomi sistem pendidikan nasional, kesenjangan mutu pendidikan, hingga masalah disintegrasi bangsa.

Hal tersebut, menurutnya, bertentangan dengan UUD 1945 yang menghendaki adanya integrasi pendidikan dalam satu sistem nasional. Selain itu, tidak adanya kata madrasah berpotensi menjadi alasan Kemendikbudristek dan pemerintah tidak membantu atau mengalokasikan anggaran pembinaan madrasah.

Sehingga, atas dasar itulah kata madrasah di dalam RUU Sisdiknas tidak bisa ditawar lagi. Karena dia menilai masuknya kata madrasah dalam RUU Sisdiknas sejalan dengan tujuan negara Indonesia untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa.

"Secara kualitas mutu pendidikan madrasah relatif tertinggal dibanding sekolah. Masalah ini tidak boleh diabaikan," tuturnya pada Selasa (29/3/2022).

Abdul pun berpendapat jika administrasi dan pembinaan pendidikan idealnya di bawah satu kementerian, yakni Kemendikbudristek.

"Memang belum semua setuju, tetapi wacana tersebut perlu dikaji," imbuhnya.

Tokoh Muhammadiyah lainnya, yakni Sekretaris Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah Alpha Amirrachman juga melayangkan kritik keras kepada Nadiem. Menurutnya, tidak adanya penyebutan madrasah dalam draf RUU Sisdiknas menunjukkan dua hal.

"Pertama, adanya krisis kompetensi di Kemendikbudristek. Kedua, rendahnya sensitivitas kementerian terkait pendidikan agama," ujarnya pada Selasa (29/3/2022).

Dia menambahkan jika pendidikan agama merupakan unsur yang sangat penting dan tak terpisahkan dalam pendidikan nasional, sehingga dia menyesalkan frasa madrasah tak disebutkan dalam RUU Sisdiknas tersebut.

"Jumlah madrasah sangat besar. Menurut data pokok pendidikan pada Mei 2021, terdapat 53.929 madrasah atau 19,53 persen dari total satuan pendidikan di Indonesia," papar Alpha.

Alpha menyebut jika keberadaan pendidikan madrasah sebenarnya sudah cukup kuat dalam UU Sisdiknas sebelumnya, di mana madrasah dan sekolah disebut dalam satu tarikan napas. Keduanya juga diklasifikasikan sebagai pendidikan formal.

"Perlu digarisbawahi bahwa UUD 1945 Pasal 31 ayat 2 telah mengamanatkan pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional," tegasnya.

Lebih jauh, penghilangan frasa madrasah dalam RUU Sisdiknas itu juga sempat menarik perhatian dari kalangan pakar pendidikan, khususnya yang turut bergerak di ranah madrasah Islam. Perhatian itu datang salah satunya dari Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (Hisminu), Arifin Junaidi.

Arifin menilai, alih-alih memperkuat integrasi sekolah dan madrasah, draf RUU Sisdiknas malah menghapus penyebutan frasa 'madrasah'. Hal itu diungkapkannya sejak awal wacana hilangnya frasa 'madrasah' tersebut mulai mencuat.

"Alih-alih memperkuat integrasi sekolah dan madrasah, draf RUU Sisdiknas malah mengehapus penyebutan madrasah," ujarnya pada Kamis pekan lalu (24/3/2022).

Menurut Arifin, UU Sisdiknas 2003 sebenarnya sudah memperkuat peranan madrasah dalam satu tarikan napas dengan sekolah. Namun sayangnya, dia memandang peran madrasah selama ini terkesan terabaikan.

"Meskipun integrasi sekolah dan madrasah pada praktiknnya kurang bermakna karena dipasung oleh UU Pemda," tandasnya.

Baca Juga: Menteri Nadiem Coret Kata Madrasah di Draf RUU Sisdiknas, Imin Geleng-geleng Sambil Ngomel: Ini Jangan Anggap Sepele!

Polemik ini pun akhirnya turut menarik sorotan dari pihak DPR RI, khususnya dari Komisi X yang salah satunya membidangi pendidikan. Wakil Ketua Komisi X DPR RI, Dede Yusuf, mengaku sebelumnya telah melayangkan teguran kepada pihak Kemendikbudristek terkait hal tersebut. 

"Kami sudah memberikan teguran  kepada pemerintah, beberapa kali kami RDP ya dengan dirjen, termasuk statement di media, karena khusus dengan menteri pendidikan belum (menegur) terkait hal ini," kata Dede dalam diskusi di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (29/3/2022).

Menurut Dede,  Indonesia adalah negara di mana masyarakat bisa menyelenggarakan pendidikan seperti MTS, MA, dan lain-lain. Atas dasar itu, dirinya meminta agar frasa 'madrasah' dimasukan ke dalam batang tubuh RUU Sisdiknas.

"Tolong itu dimasukan ke dalam batang tubuh, bukan di dalam penjelasan. Kenapa? Karena alasan pemerintah dimasukan penjelasan siapa tahu berubah namanya," ujarnya.

Dede mengaku belum menerima draf RUU Sisdiknas yang memunculkan polemik tersebut. Menurutnya draf yang kini beredar bukanlah draf resmi.

"Mungkin yang beredar saat itu adalah yang kalau kami aktakan ini adalah draf yang masih uji coba. Karena kalau belum masuk ke kita berarti belum resmi. Kecuali kalau sudah masuk ke kita atau sudah ada di baleg berarti itu sudah resmi yang akan kita perdebatkan," jelasnya.

"Artinya sekali lagi, komisi X menganggap ini baru semacam test the water dan ketika mestinya dilakukan naskah akademik yang dilakukan uji publik. Nah uji publiknya seperti apa, kami belum tahu. Karena kami belum mendapat apapun," imbuhnya.

Sementara itu, Ketua Komisi X DPR RI, Syaiful Huda, bahkan menyatakan berencana akan memanggil dan mengadakan rapat kerja dengan Nadiem Makarim selaku Mendikbudristek untuk dimintai keterangan tentang hal tersebut. 

"Salah satu poin dengan konsorsium pendidikan Indonesia itu dan beberapa elemen, rekomendasinya mengundang Mas Nadiem, semoga bisa minggu-minggu depan," kata Huda dalam keterangannya, Selasa (29/3/2022). 

Huda menyebut hingga saat ini pihaknya belum menerima draf RUU Sisdiknas yang dirancang oleh Kemendibudristek. Karenanya, Ia belum bisa memastikan apakah madrasah dihilangkan atau tidak. 

"Kita sampaikan bahwa sampai hari ini Komisi X draf ini terkait RUU Sisdiknas. Tahapannya memang masih di level pemerintah," tambahnya. 

Melihat polemik yang terjadi, politisi PKB itu meminta agar Nadiem dan jajarannya lebih melibatkan entitas pendidikan dalam menyusun RUU Sisdiknas.

"Perluasan partisipasi pelibatan dan sifatnya substantif itu kalau melihat laporan dan berbagai aduan itu belum maksimal," ujar dia. 

Baca Juga: Madrasah Hilang di RUU Sisdiknas, DPR Bakal Panggil Nadiem

Masih banyak pula kritik lainnya yang berdatangan menyasar Kemendikbudristek atas polemik tersebut. Oleh karena itu, pihak Kemendikbudristek pun saat ini sudah menyampaikan sejumlah klarifikasi untuk meluruskan pandangan publik tersebut. Klarifikasi pertama datang dari Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo.

Pria yang akrab disapa Nino itu menegaskan, madrasah dan satuan pendidikan lain seperti sekolah tidak pernah dihapus dari sistem pendidikan nasional.

“Sedari awal tidak ada keinginan ataupun rencana untuk menghapus sekolah atau madrasah atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional," kata Nino pada Selasa (29/3/2022).

"Sekolah maupun madrasah secara substansi tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh dari revisi RUU Sisdiknas. Namun, penamaan secara spesifik seperti SD dan MI, SMP dan MTS, atau SMA, SMK, dan MA akan dijelaskan dalam bagian penjelasan. Hal ini dilakukan agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat di tingkat UU sehingga lebih fleksibel dan dinamis.” tambahnya.

Yang terbaru, giliran Nadiem Makarim yang menyampaikan klarifikasi dengan menggandeng Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas.

Nadiem membantah pihaknya ingin menghapus madrasah dalam RUU tersebut. Dia mengklaim saat ini Kemendikbudristek terus berkoordinasi dengan Kementerian Agama dalam program-program peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia dengan mengedepankan semangat gotong royong dan inklusif. Semangat itu juga, menurutnya, dibawa ke dalam proses revisi UU Sisdiknas. 

"Sedari awal tidak ada keinginan ataupun rencana untuk menghapus sekolah, madrasah, atau bentuk-bentuk satuan pendidikan lain dari sistem pendidikan nasional. Sebuah hal yang tidak masuk akal dan tidak pernah terbersit sekalipun di benak kami," kata Nadiem, pada Rabu (30/3/2022).

Nadiem menerangkan bahwa sekolah ataupun madrasah tetap menjadi bagian dari jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh revisi UU Sisdiknas. Namun memang dalam revisi tersebut tidak dituliskan secara spesifik penamaan satuan pendidikan seperti madrasah atau pesantren.

"Sekolah maupun madrasah secara substansi tetap menjadi bagian dari jalur-jalur pendidikan yang diatur dalam batang tubuh dari revisi RUU Sisdiknas. Namun penamaan secara spesifik seperti SD dan MI, SMP dan MTS atau SMA SMK dan Ma akan dipaparkan di bagian penjelasan," jelas Nadiem.

"Tujuannya adalah agar penamaan bentuk satuan pendidikan tidak diikat ditingkat undang-undang sehingga jauh lebih fleksibel dan dinamis," lanjutnya.

Nadiem pun menyatakan terdapat empat hal pokok  yang diformulasikan dalam RUU Sisdiknas.

"Pertama, kebijakan standar pendidikan yang mengakomodasi keragaman antara daerah dan inovasi. Kedua, kebijakan wajib belajar dilengkapi dengan kebijakan hak belajar. Ketiga kebijakan penataan profesi guru agar semakin inklusif dan profesional dan keempat kebijakan peningkatan otonomi serta perbaikan tata kelola pendidikan tinggi," terangnya.

Baca Juga: Hapus Madrasah di Draf RUU Sisdiknas, Menteri Nadiem Disebut Nggak Punya Adab, Pak Jokowi Tolong Pecat Orang Ini!

Untuk diketahui, madrasah sendiri sudah berdiri jauh sebelum Indonesia merdeka. Dikutip dari jurnal Dr. Manpan Drajat berjudul "Sejarah Madrasah di Indonesia", madrasah telah muncul pada masa kolonial Belanda atau sekitar awal abad ke-20. Pada masa itu, mulai berdiri pula ormas Islam seperti Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU).

Salah satu contoh kemunculan madrasah pada masa itu adalah munculnya Madrasah Adabiyah yang didirikan di Padang, Sumatera Barat, oleh Syaikh Abdullah Ahmad di tahun 1908, yang kemudian berubah menjadi HIS Adabiyah pada 1915.

Lalu di tahun 1910, Syaikh M. Taib Umar mendirikan Madrasah Schoel di Batusangkar, Sumatera Barat. Adapula Diniyah Schoel yang merupakan lanjutan dari Madrasah Schoel, didirikan pada 1918 oleh H. Mahmud Yunus.

Di Sumatera Utara, tepatnya di Aceh, didirikan madrasah bernama Saadah Adabiyah oleh tokoh nasional Tengku Daud Beureuh. Ada juga Madrasah Al-Muslim yang didirikan oleh Tengku Abdul Rahman Munasah Mencap, Madrasah Sarul Huda, dan lain-lain. 

Selain di dua daerah tersebut, madrasah juga turut didirikan di Sumatera Timur, Tapanuli, Sumatera Selatan, Kalimantan, Sulawesi, dan Jawa, pendeknya, hampir di seluruh Indonesia.

Contohnya, pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan yang juga merupakan pahlawan nasional, turut mendidikan Madrasah Qismul Aqro di Yogyakarta pada 1918, yang mana menjadi cikal bakal Madrasah Muallimin-Muallimat Muhammadiyah.

Masih banyak pula madrasah-madrasah lainnya di Indonesia dari beragam tingkatan, mulai dari raudatul atfal (RA) yang setingkat taman kanak-kanak (TK), madrasah ibtidaiyah (MI) yang setingkat SD, madrasah tsanawiyah (MTs) yang setingkat SMP, madrasah aliyah (MA) yang setingkat SMA, atau madrasah aliyah kejuruan yang setingkat SMK.

Baca Juga: Anak Buah Nadiem Tak Cantumkan Madrasah Biar Fleksibel, Wakil Ketua MPR Kasih Bantahan Keras!

Terkait

Terpopuler

Terkini