Satuan Reserse dan Kriminal Polres Lombok Tengah, Provinsi Nusa Tenggara Barat menjadi bulan - bulanan masyarakat setelah menetapkan S (34) menjadi tersangka pembunuhan dua begal yang hendak merampoknya. Mirisnya lagi dua begal lainnya yang selamat justru dijadikan saksi dalam kasus ini.
Salah satu pihak yang ikut mengecam keputusan pihak kepolisian yang mentersangkakan S adalah Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut), Suparji Ahmad.
Suparji menyebutkan, penetapan tersangka itu harus ditinjau ulang. Sebab, S merupakan korban dari tindak kejahatan yang sedang melakukan pembelaan diri.Tindakan yang dilakukan memenuhi kualifikasi bela paksa sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP.
Baca Juga: Begalnya Jadi Saksi, Yang Dibegal Jadi Tersangka Pak Mahfud, Kok Begini...
"Penetapan tersangka itu perlu ditinjau ulang, karena tersangka adalah orang yang sedang membela diri dari tindakan kriminal yang mengancam keselamatan nyawanya. Tentu hal ini sangat mengusik rasa keadilan masyarakat," kata Suparji kepada Populis.id Sabtu (16/04/2022).
Ia menegaskan bahwa Polisi dalam menghentikan kasus ini bisa menghentikan penyidikan karena tidak cukup alat bukti bahwa Tersangka melakukan tindak pidana yang menewaskan dan melukai begal. Hal ini akan lebih produktif ketimbang menersangkakan korban.
"Bayangkan kalau orang yang sebenarnya korban, tapi malah duduk di kursi pesakitan. Bahkan pelaku sebenarnya, kabarnya dijadikan saksi. Maka sekali lagi penetapan tersangka ini perlu dikoreksi," tuturnya.
Penyidik semestinya melihat kasus ini secara komprehensif, bukan dengan satu sisi tindak pidana saja. Karena apa yang dilakukan S ada penyebabnya, bukan tiba-tiba dia langsung melakukan penghilangan nyawa dan tidak ada maksud main hakim sendiri.Tetapi semata mata demi menyelamatkan diri.
"Pertanggungjawaban pidana harus memperhatikan adanya alasan pemaaf dan pembenar sebagai penghapus pidana. Jadi tidak perlu harus dibuktikan di pengadilan karena akan buang-buang waktu dan biaya," ucap Suparji.