Pakar Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel memaparkan bahwa sanksi sosial perlu diberikan kepada Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Prof. Budi Santosa Purwokartiko atas tulisannya yang menyinggung perempuan berhijab sebagai manusia gurun.
Menurutnya, sanksi sosial diberlakukan sebagai alternatif selain sanksi pidana. Di sisi lain, persoalan penegakan hukum pidana kasus penistaan agama masih menjadi Pekerjaan tersendiri bagi penegak hukum, karena adanya ketimpangan.
"Psikologi yakin akan kekuatan sanksi sosial. Bandura, ilmuwan psikologi, pun merekomendasikan sanksi sosial seberat-beratnya sebagai ganti ketika hukum pidana tidak bisa diharapkan," katanya saat dihubungi Populis.id pada Senin (09/05/2022).
Baca Juga: Rektor ITK Bilang Hijabers Manusia Gurun, MUI Kesal Sampai Ubun-ubun: Itu Maksudnya Apa? Ini Melukai Umat Muslim
"Pasal yang bisa dipakai untuk menjerat pelaku hate speech sebetulnya sudah ada. Tapi equity before the law masih jadi agenda besar, betapa pun Kapolri sendiri sudah nyatakan tidak ada lagi penegakan hukum yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas," Sambungnya.
Kata dia, ketika seorang akademisi menjadi sasaran sanksi sosial, misalnya sanksi etik dan berbagai penamaan negatif, itu sama artinya dengan hukuman terhadap integritasnya selaku cerdik cendekia.
"Di mata saya, omong kosong saja kalau ybs suatu saat bicara tentang kebhinekaan, kesetaraan, non diskriminasi, Pancasila, dan sebagainya. Ini misalnya bentuk sanksi sosial dari saya ke dia," paparnya.
Baca Juga: Desak Prof Budi Santosa Mundur Dari Rektor, HNW: Mestinya Tahu Diri dan Minta Maaf!
Lebih lanjut, Reza menerangkan bahwa program yang dijalankan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) itu program pendidikan.
Sedangkan tujuan Diknas adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu insan yang beriman serta bertaqwa terhadap yang kuasa yang Maha Esa serta berbudi pekerti luhur.
"Dari situ saja sudah bisa dibayangkan bahwa tim seleksi harus sejak awal memberikan perhatian ekstra pada dimensi keberagamaan kandidat LPDP. Mutlak itu. Setelah itu tertakar, baru dieksplorasi elemen-elemen lain si kandidat," paparnya.
Baca Juga: Kasus Budi Santosa Jadi Momentum Kemendikbud Evaluasi Perguruan Tinggi
Alhasil, ia menekankan keliru besar kalau LPDP mempekerjakan tim seleksi yang sekuler dan nyinyir terhadap peserta seleksi yang mempraktikkan kehidupan keberagamannya secara ekstrinsik.
Menurutnya, orang-orang dengan corak keberagamaan sedemikian rupa tidak bisa diperlakukan laiknya orang berkasta bawah.
"Toh psikologi juga menempatkan orang-orang semacam itu sejajar dengan orang dengan corak keberagamaan yang intrinsik," pungkasnya.