Pengamat pendidikan Doni Koesoema menyarankan secara baik-baik agar Profesor Budi Santosa Purwokartiko bersedia mengundurkan diri sementara waktu dari jabatannya sebagai Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) demi mengedepankan tata krama dan sopan santun.
Pengunduran diri itu dianggap perlu hingga beberapa proses yang menyangkut dirinya sudah dianggap selesai. Seperti pemeriksaan secara etik dari Kemendikbud Ristek dan juga pelaporan terhadap dirinya di Polda Kalimantan Timur yang hingga saat ini masih terus berlangsung.
Baca Juga: Profesor Budi Santosa Hati-Hati Ya! Jabatannya Guru Besarnya Bisa Dicabut Lho Masih Jadi Rektor ITK
"Sebaiknya apabila ada seseorang terkena kasus seperti ini, demi tata krama, sopan santun, kesadaran publik, mungkin untuk sementara ya bisa mengundurkan diri dulu, minta diganti yang lain kalau dia sebagai Rektor," kata Doni kepada Populis.id, Rabu (11/5/2022).
Baca Juga: Rektor ITK Budi Santosa Kini Keluhkan Tunjangan Cuma Rp5,5 Juta, Said Didu: Malah Terkesan Ngeyel!
Walaupun menurut Doni, Budi Santosa Purwokartiko bisa saja meneruskan posisinya sebagai Rektor ITK. Sebab dalam proses yang berlangsung, masyarakat ataupun pihak yang terkait harus mengedepankan asas praduga tak bersalah sampai dengan keluarnya putusan dari pengadilan.
"Kita harus memakai prinsip asas praduga tak bersalah, itu harus kita jaga, sehingga rektor tetap bisa jalan menurut saya, karena dilaporkan ke polisi kan belum tentu salah, sampai keputusan pengadilan inkracht" tandasnya.
Namun, Doni mengatakan yang menjadi masalah adalah ketika masyarakat tidak bisa melihat secara objektif atas masalah yang tengah terjadi. Sehingga dikhawatirkan akan membawa nama buruk bagi institusi ITK apabila Budi bersikeras ingin tetap menjadi rektor.
"Pernyataan ini sebagai pernyataan personal, individual, tetapi masyarakat kan tetap melihat loh kamu itu rektor mana, dia membawa institusi, jadi pribadi dan sosial itu sekarang sulit sekali untuk membedakan," ungkapnya.
Menurut Doni, walaupun identitas Budi sulit dibedakan, namun secara hukum pemberian sanksi itu bisa dipisahkan berdasarkan levelnya. Karena setiap jabatan yang diperolehnya memiliki petinggi yang beda-beda di tiap instansi, seperti di LPDP maupun di kampusnya.
"Tetapi secara hukum itu bisa dibedakan, jadi kebijakan dan keputusannya itu harus dibedakan ini di level apa, apakah di level LPDP sebagai reviewer, itu kan ada petingginya sendiri, reviewer LPDP itu ditunjuk siapa, dia bisa di lepas tugasnya, tetapi sebagai guru besar tunggu dulu, beda kasusnya," pungkasnya.