Mulyanto menjelaskan suatu daerah disebut paling rawan atau rawan mafia migor karena tingkat potensi ketersediaan migor di daerah tersebut tinggi, namun di lapangan justru harga migornya jauh di atas HET.
"Ini kan kontradiktif. Misalnya Jambi, kapasitas produksi migornya lebih dari 20 kali lipat dibanding jumlah konsumsinya. Namun harga migor di sana masih bertengger di angka Rp. 18.000 per kilogram. Padahal daerah sekelasnya, yakni Sumatera Barat, harga migor sudah Rp15.600 pe kilogram," paparnya.
Sementara itu di DKI Jakarta, kapasitas produksi migor 7 kali lipat dibanding jumlah konsumsinya. Harga migor di DKI masih sebesar Rp. 19.850 per kilogram.
Padahal Banten dan Jawa Barat, yang merupakan wilayah produksi migor yang sama, memiliki harga migor curah masing-masing sebesar Rp16.750 dan Rp18.400 per kilogram.
"Bandingkan dengan NTB, yang tidak memiliki kapasitas produksi, namun harga migor curahnya Rp19.750. Sedikit di bawah harga migor curah di DKI," tuturnya.
Sementara Kalimantan Selatan dengan kapasitas produksi migor 10x lipat dibanding jumlah konsumsinya, namun harga migor curah di sana masih tinggi di angka Rp. 18.600 per kilogram. Sementara daerah sekelasnya, yakni Kalimantan Barat, harga migor sudah Rp15.600 pe kilogram.
"Kondisi ini memperlihatkan, bahwa potensialitas produksi migor yang tinggi, tidak menghasilkan aktualitas implikasi pada keberlimpahan dan keterjangkauan harga migor. Berarti ada persoalan di sisi distribusi," tandas Mulyanto.