Pemerintah menegaskan menolak melegalkan pernikahan beda agama. Hal ini lantas membuat Ketua MUI Pusat Bidang Dakwah dan Ukhuwah Cholil Nafis berkomentar.
Ia bersyukur karena akhirnya pemerintah secara gamblang menolak melegalkan pernikahan beda agama.
Sekarang, kata dia, tinggal bagaimana membatalkan model keputusan pengadilan Negeri untuk pencatatan administrasi kependudukan. Sebab ini membingungkan masyarakat.
"Bagus dehhh... Kompak deh sama kami-kami dan kita-kita. Tinggal gimana caranya membatalkan model keputusan pengadilan Negeri utk pecatatan administrasi kependudukan krn itu membuat bingung masyarakat. Tidak sah tapi dicatatkan?," kata dia dari Twitter @cholilnafis yang dikutip populis.id pada Senin (4/7/2022).
Baca Juga: Jelang Puncak Haji, DPR Imbau Jemaah Haji Indonesia Fokuskan Hal Ini, Lebih Baik...
Sebelumnya, pemerintah mengatakan demikian dalam sidang judicial review UU Perkawinan di Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan oleh warga Papua, Ramos Petege.
"Menolak permohonan pengujian pemohon untuk seluruhnya. Atau setidak?tidaknya menyatakan permohonan pengujian pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard)," demikian keterangan pemerintah yang dikutip dari website MK, Senin (4/7/2022).
Bagus dehhh... Kompak deh sama kami2 dan kita2. Tinggal gmn caranya membatalkan model keputusan pengadilan Negeri utk pecatatan administrasi kependudukan krn itu membuat bingung masyarakat. Tdk sah tapi dicatatkan?
— cholil nafis (@cholilnafis) July 4, 2022
.https://t.co/cbVcrK0Mmm
Dilansir dari detik, sikap pemerintah ini diwakili oleh Menkumham Yasonna Laoly dan Menag Yaqut Cholil Qoumas. Pernyataan resmi pemerintah itu disampaikan oleh kuasa dari Kemenag, Kamaruddin Amin.
"Makna hukum atau legal meaning ketentuan Pasal 29 UUD 1945 sebagai batu uji Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan Pasal 8 huruf f UU Perkawinan oleh Pemohon telah ditafsirkan secara keliru. Bahwa prinsip kemerdekaan dan kebebasan agama disamakan sebagai prinsip yang membolehkan perkawinan beda agama," kata Kamaruddin Amin.
Menurut pemerintah, hukum perkawinan masing?masing agama dan kepercayaan yang ada di Indonesia berbeda?beda, sehingga tidak mungkin untuk disamakan.
Suatu hukum perkawinan menurut satu hukum agama dan kepercayaan untuk menentukan sahnya perkawinan adalah syarat?syarat yang ditentukan oleh agama dari masing?masing pasangan calon mempelai.
"Dan terhadap perkawinan tersebut dilakukan pencatatan sebagai tindakan yang bersifat administratif yang dilaksanakan oleh negara guna memberikan jaminan perlindungan, kemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia yang bersangkutan yang merupakan tanggung jawab negara, serta sebagai bukti autentik perkawinan," katanya.