Menurut Suahasil, lonjakan anggaran subsidi tersebut dipengaruhi oleh tiga hal. Yaitu harga minyak yang masih tinggi, nilai kurs, dan volume konsumsi BBM.
“Subsidinya masih besar sekali, meski kami sudah tingkatkan harga Pertalite dan Solar,” katanya.
Warga Perlu BLT
Pengamat kebijakan ekonomi politik dari lembaga riset Laboratorium Indonesian (LAB) 45 Reyhan Noor mengatakan, langkah Pemerintah menaikkan harga BBM sudah tepat.
“Meski tren harga minyak dunia saat ini cenderung menurun, anggaran subsidi dan kompensasi BBM tetap lebih tinggi dari yang sudah dianggarkan dalam belanja negara,” ujar Reyhan di Jakarta, kemarin.
Menurut dia, permasalahan utama penyaluran subsidi BBM sejak dulu adalah efektivitas yang rendah untuk membantu masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
Terlebih, dalam konteks menjaga kesejahteraan dalam kondisi seperti saat ini, uang subsidi BBM akan lebih baik disalurkan langsung kepada masyarakat yang masuk ke dalam kriteria membutuhkan.
“Kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) BBM akan memiliki efektivitas yang lebih tinggi dari subsidi BBM,” kata Reyhan.
Direktur Eksekutif Institute for Development Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menilai, anggaran subsidi dan kompensasi energi tetap jebol, meski harga BBM sudah dinaikkan Perintah. Alasannya, tidak ada pembatasan pembelian BBM bersubsidi.
Harusnya, saat kenaikan harga diumumkan akhir pekan lalu, pembeliannya dibatasi juga biar anggaran nggak jebol.
“Karena selisih harga Pertalite dan Pertamax masih cukup tinggi. Pertalite Rp 10.000 per liter dan Pertamax Rp 14.500 per liter. Orang akan beralih ke Pertalite, akhirnya pembelian meningkat, anggaran subsidi juga jadi besar,” pungkas Tauhid.
Lihat Sumber Artikel di Rakyat Merdeka Artikel ini merupakan kerja sama sindikasi konten antara Populis dengan Rakyat Merdeka.