Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian (Lemkapi) Dr Edi Hasibuan ikut mengomentari langkah kepolisian menggunakan lie detector atau pendeteksi kebohongan untuk memeriksa Ferdy Sambo dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat (Brigadir J).
Dia menyebut alat pendeteksi kebohongan jelas tidak efektif dipakai untuk memeriksa pelaku-pelaku kejahatan yang memang suka berbohong. Untuk itu dia meminta agar pihak kepolisian tidak menjadikan hasil pemeriksaan lie detector sebagai alat bukti. Hasil pemeriksaan ini hanya boleh dipakai sebagai pelengkap saja.
"Jangan menjadikan hasil lie detector tersangka sebagai ukuran kebenaran dalam peristiwa kematian Brigadir J meskipun hasilnya dinyatakan jujur. Bagi orang yang biasa bohong, dia tidak akan terpengaruh dengan alat kebohongan apapun," kata Edi kepada wartawan Jumat (9/9/2022).
Dia mengatakan lembaga kepolisian di dunia juga tidak menjadikan lie detector sebagai patokan untuk memecahkan sebuah kasus kriminal. Sebab akurasi hasil pemeriksaan menggunakan metode ini kata dia hanya 60 persen saja.
"Hasil lie detector' cuma dipercaya 60 persen kepolisian di dunia,” tegasnya.
Untuk menguak kasus pembunuhan Brigadir J, lanjut Edi, polisi tidak harus berpatokan pada pengakuan para tersangka. Ada metode dan cara lainnya untuk membongkar tuntas kasus pembunuhan berencana itu.
"Tetapi yang paling penting, penyidik memiliki bukti-bukti pendukung yang cukup sesuai dengan tuduhan pembunuhan berencana Brigadir J," kata pemerhati kepolisian ini.
Edi menyarankan agar tim penyidik fokus saja kepada pengumpulan alat bukti yang sah sesuai pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) yakni keterangan saksi, keterangan ahli, surat dan petunjuk.
"Kami yakin tim penyidik Polri sudah memahami ini," kata dosen hukum kepolisian dari Universitas Bhayangkara Jakarta ini.