Karakteristik Sistem Parlementer
Ciri khas sistem parlementer adalah supremasi lembaga legislatif dalam tiga fungsi pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—serta pengaburan atau penggabungan fungsi eksekutif dan legislatif.
Fungsi legislatif dilakukan melalui parlemen unikameral (satu kamar) atau bikameral (dua kamar) yang terdiri dari anggota yang bertanggung jawab kepada rakyat yang diwakilinya.
Seorang perdana menteri dan menteri dari beberapa departemen eksekutif pemerintah terutama menjalankan fungsi eksekutif.
Partai politik atau koalisi partai yang membentuk mayoritas keanggotaan parlemen memilih perdana menteri dan menteri departemen.
Baca Juga: Eks Pegawai KPK Sudah Menyiapkan Nama Partai Politik Baru
Perdana menteri biasanya adalah pemimpin partai mayoritas, jika ada, atau pemimpin salah satu partai dalam koalisi yang berkuasa.
Beberapa tugas eksekutif seremonial dilakukan oleh kepala negara simbolis — raja atau ratu turun-temurun dalam monarki konstitusional yang demokratis.
Seperti Inggris Raya, Jepang, Norwegia, atau Spanyol, atau presiden atau kanselir terpilih di republik konstitusional demokratis seperti Jerman, Italia, atau Latvia.
Di sebagian besar sistem parlementer, ada pengadilan konstitusi khusus yang dapat menyatakan suatu undang-undang inkonstitusional jika melanggar ketentuan hukum tertinggi negara yakni, konstitusi.
Dalam beberapa sistem parlementer, seperti Inggris Raya, Selandia Baru, dan Belanda, tidak ada ketentuan untuk tinjauan konstitusional atau yudisial, dan rakyat secara kolektif memiliki satu-satunya kontrol pada legislatif tertinggi, yaitu untuk memilih anggota mayoritas partai atau partai yang lengser pada pemilu berikutnya.
Fungsi yudisial biasanya independen dari komponen legislatif dan eksekutif dari sistem.
Baca Juga: Telak Abis! Rencana Mas Anies Habis Ditelanjangi Dedek Prayudi: Dia Politisi Ulung
Dalam sistem parlementer, undang-undang dibuat dengan suara mayoritas legislatif dan ditandatangani oleh kepala negara, yang tidak memiliki hak veto yang efektif.
Pada sebagian besar demokrasi parlementer, kepala negara dapat mengembalikan RUU ke badan legislatif untuk menandakan ketidaksetujuan dengannya.
Tetapi parlemen dapat mengesampingkan “veto” ini dengan suara mayoritas sederhana.