Ada Apa Dengan PDIP dan Demokrat? Kok Lagi-lagi Ribut?

Ada Apa Dengan PDIP dan Demokrat? Kok Lagi-lagi Ribut? Kredit Foto: Fikri Yusuf

Sejumlah kader Partai Demokrat dan PDIP baru-baru ini tengah saling bertikai satu sama lain. Hal ini bermula ketika Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDIP Hasto Kristiyanto yang sempat menyanjung masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) namun dengan menyinggung pemerintah sebelumnya yakni Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang merupakan pentolan Demokrat.

Adapun Hasto saat itu membanding-bandingkan kinerja pemerintahan Jokowi dengan 10 tahun pemerintahan SBY pada 2004-2014 silam. Hasto menyebut masa jabatan SBY hanya lebih banyak rapat namun tak ada aksi yang diputuskan, sementara Jokowi cenderung dominan produktif dengan eksekusi program kerja.

"Berbeda dengan pemerintahan 10 tahun sebelumnya, terlalu banyak rapat tidak mengambil keputusan," kata Hasto dalam keterangannya, Kamis (21/10).

Ia mengklaim bahwa kinerja Jokowi lebih baik dibanding presiden terdahulu.

"Pak Jokowi punya kelebihan dibanding pemimpin yang lain. Beliau sosok yang turun ke bawah, yang terus memberikan direction, mengadakan ratas (rapat kabinet terbatas) dan diambil keputusan di rapat kabinet terbatas," ungkapnya.

Hal ini,menurutnya, salah satunya dibuktikan dengan keberhasilan menangani pandemi Covid-19 di Indonesia yang mana dengan tetap menyeimbangkan antara ekonomi dan kesehatan, serta berhasil memperoleh jatah vaksin Covid-19 dari luar negeri.

"Hal itu tidak mungkin kalau Presiden Jokowi tidak memberikan suatu direction, membentuk tim negosiasi untuk mendatangkan vaksin-vaksin dan bergerak dengan penuh keyakinan," ujarnya.

Hasto menambahkan, apa yang telah dilakukan Jokowi satu napas dengan kebijakan Megawati Soekarnoputri. Ia mengeklaim, hal tersebut merupakan satu perpaduan yang sangat sempurna.

"Selama pandemi, Ibu Megawati memberikan suatu arahan kalau kita bandingkan instruksi-instruksi yang diberikan partai politik di dalam mengatasi pandemi, maka Ibu Megawati lah yang paling detail. Di tingkat nasional Pak Jokowi memberikan direction untuk menggerakkan seluruh elemen negara, menggerakkan seluruh elemen pemerintahan untuk membantu, termasuk kebijakan relokasi anggaran. Sementara, Ibu Megawati menggerakkan seluruh elemen kepartaian," katanya menambahkan.

Baca Juga: Jokowi Disanjung-sanjung, Eh Presiden Sebelumnya Kena Senggol Hasto PDIP

Pihak Demokrat pun merespons pernyataan Hasto tersebut. Menurut Deputi Bappilu DPP Partai Demokrat Kamhar Lakumani, sindiran itu jelas salah alamat jika diarahkan kepada SBY, karena menurutnya SBY selama 10 tahun telah menorehkan banyak prestasi. Justru menurutnya, sindiran itu lebih cocok untuk presiden sebelum era SBY, yakni Megawati Soekarnoputri yang merupakan Ketua Umum PDIP.

“Tentunya salah sasaran jika ditujukan ke Presiden RI ke-6 Pak SBY. Entahlah jika itu dimaksudkan kepada presiden terdahulu sebelum Pak SBY,” tandas Kamhar kepada wartawan, Jumat (22/10/2021).

Adapun Kamhar juga menyoroti pendapat Hasto terkait rapat. Menurutnya, apabila merujuk pada testimoni Jusuf Kalla (JK) yang pernah menjadi Wakil Presiden era SBY dan Joko Widodo (Jokowi), rapat di era SBY lebih ringkas, terarah dan cepat ketika mengambil keputusan. Sebaliknya, ia justru menyebut bahwa di era Jokowi lah semua masalah dirapatkan.

“Kalau zamannya Pak Jokowi, semua soal dirapatkan. Jadi dalam seminggu rapatnya bisa empat sampai lima kali,” katanya.

Membantah pernyataan Hasto, Kamhar menyebutkan bahwa wajar saja jika kepemimpinan SBY lebih efektif dan lebih cepat dalam pengambilan keputusan. Menurutnya, sejak remaja SBY sudah terbiasa dan terlatih menjadi pemimpin di militer. Selain itu, SBY juga memiliki rekam jejak pendidikan yang paripurna, master of art dari Management Webster University Amerika Serikat (AS) dan doktor dalam bidang ekonomi pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

“Jadi dalam hal kepemimpinan, kemampuan pengambilan keputusan, kecepatan dan kualitas keputusan, Pak SBY di atas rata-rata dan ini telah dibuktikan dengan 10 tahun kepemimpinannya telah menghantarkan Indonesia pada banyak capaian dan kemajuan,” sambungnya.

Ia juga menyindir Hasto tidak melihat realita terkait kepemimpinan SBY.

"Mungkin Hasto sebelum pemerintahan Pak Jokowi hanya hidup di alam mimpi, tak mengenal realita. Karenanya, mengutip dan memodifikasi yang lagi viral dan kekinian di media sosial. Hei Hasto, bangun, ko tidor terlalu miring, bangun. Nanto ko pe otak juga ikutan miring," cibirnya.

Baca Juga: Senggol SBY, Hasto Kena Sentil Kader Partai Demokrat

Adapun perdebatan ini berlanjut kepada tudingan Hasto yang menyebut kecurangan kubu SBY pada Pemilu 2009 lalu. Menurutnya, terjadi suatu kecurangan secara masif semasa pemilu di era SBY. Ia menyebut terdapat manipulasi data daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu 2009.

"Pada 2009 itu kan kecurangannya masif, dan ada tokoh-tokoh KPU yang direkrut masuk ke parpol hanya untuk memberikan dukungan elektoral bagi partai penguasa. Ada manipulasi DPT dan sebagainya, beber Hasto pada Sabtu (23/10/2021).

Kamhar pun kembali membahas tudingan Hasto tersebut dengan menyebut bahwa politisi PDIP tersebut masih belum move on setelah Megawati yang saat itu berpasangan dengan Prabowo Subianto dipecundangi oleh SBY dan Boediono. Ia beranggapan bahwa Hasto hanya ingin mengalihkan topik dari perdebatannya di awal yang membandingkan Jokowi dengan SBY.

"Hasto kembali mengalihkan topik dari polemik tentang pengambilan keputusan Presiden Jokowi dan presiden pendahulunya ke persoalan Pemilu 2009. Hasto gagal move on untuk menerima kenyataan Paslon yang diusung partainya (Megawati-Prabowo) kalah telak saat Pilpres dalam satu putaran," tutur Kamhar, Sabtu (23/10/2021).

Ia juga menilai pernyataan Hasto tak berdasar dalam membicarakan netralitas KPU dalam pemilu saat itu.

"Publik masih ingat kontestasi Pilpres 2009 diikuti 2 incumbent, selain Pak SBY juga ada Pak JK yang berpasangan dengan Pak Wiranto. Jadi tak mungkin menggunakan pendekatan kekuasaan. Hasil-hasil survei dari seluruh lembaga survei juga tak jauh berbeda dengan hasil Pemilu saat itu yang memenangkan SBY-Boediono. Jadi Hasto tak usah buat argumen yang ngawur dan sok intelek tapi tak punya justifikasi, hanya ilusi," tegasnya.

Sebagai informasi, Pilpres 2009 dimenangkan SBY-Boediono dengan perolehan suara telak sebanyak 73.874.562 (60,80%), sementara Megawati-Prabowo hanya meraih 32.548.105 (26,79%) dan JK-Wiranto hanya mendapat 15.081.814 (12,41%) suara. 

Di saat yang sama, Partai SBY, Demokrat juga berhasil sukses besar dengan memperoleh PT (parliamentary threshold) terbanyak dengan 21.703.137 (20,85%) suara. Sementara di urutan kedua dan ketiga berjarak cukup jauh dengan Demokrat, yakni Golkar dengan 15.037.757 (14,45%) suara dan PDIP dengan 14.600.091 (14,03%) suara.

Hasto pun membantah tudingan Kamhar yang menyebut dirinya gagal move on dari kekalahan Pemilu 2009. 

"PDIP selalu move on melalui langkah-langkah organisasi yang sistemik seperti pendidikan pol, kaderisasi kepemimpinan, dan bahkan bergerak cepat masuk ke kebudayaan, gerakan penghijauan dll," ucapnya pada Minggu (24/10/2021).

Ia juga menyebut bahwa maksud dari pembahasannya terkait kecurangan Partai Demokrat pada Pemilu 2009 adalah dikarenakan menyangkut kedaulatan rakyat. Hal ini dilakukannya agr kejadian serupa tidak terjadi kembali pada pemilu-pemilu selanjutnya.

"Mengapa kecurangan Pemilu diingatkan kembali oleh PDIP? Karena pemilu itu hukumnya kedaulatan rakyat," tegasnya.

Kamhar pun kemudian kembali membalas penjelasan Hasto tersebut dengan menyebutnya terlalu banyak menghindar dan sok intelektual.

"Lagi-lagi Hasto ngeles dan semakin melebar dari pokok persoalan awal tentang tuduhannya bahwa presiden sebelum Jokowi lamban dalam mengambil keputusan. Namun setelah disajikan fakta yang terbukti sebaliknya, Hasto ngeles dan kembali memproduksi kebohongan baru," pungkasnya, Senin (25/10/2021).

Adapun polemik ini tak hanya terjadi antara Hasto dan Kamhar saja, melainkan menarik sejumlah pihak lainnya baik dari PDIP maupun Demokrat. Dari pihak PDIP, ada Hendrawan Supratikno yang turut membandingkan kepemimpinan Jokowi dan SBY. Menurutnya, Jokowi merupakan tipikal pemimpin pendobrak, sementara SBY peragu soal pengambil kebijakan.

"Tentu setiap pemimpin punya ciri dan gaya berbeda. Pak Jokowi lebih bercorak pendobrak. Jika aspek manfaat-mudarat sudah dihitung, dia berani ambil risiko. Sementara SBY terkenal sangat hati-hati lebih menonjol sebagai pemikir. Ditengarai sering ragu-ragu untuk membuat dobrakan, sehingga lawan ideologis pun dipelihara dan diberi ruang bertumbuh,” paparnya pada Minggu (24/10/2021).

Sementara di pihak Demokrat, cukup banyak yang terpancing untuk menanggapi apa yang dinyatakan Hasto, salah satunya adalah Yan Harahap. Menurut Yan, di era SBY ekonomi meroket dan APBN meningkat, berbeda di era Jokowi saat ini yang menurutnya ekonomi menurun dan justru utang yang meroket.

"Hasto ini Ibarat ‘kodok’ dalam tempurung, sehingga ia tak tahu pada pemerintahan sebelumnya pertumbuhan ekonomi ‘meroket’, APBN meningkat, utang dan defisit kita terjaga. Yan sekarang? Ekonomi ‘nyungsep’, APBN ‘dibebani’, utang pun terus meroket," tulisnya di akun Twitter-nya, dikutip Senin (25/10/2021).

Politisi Partai Demokrat lainnya, Cipta Panca Laksana juga turut memberi sindiran telak kepada Hasto. Menurutnya Hasto adalah sosok politisi cengeng dan sering terkena diare. Sambil merujuk pengakuan JK soal rapat di era SBY, Cipta mencibir Hasto.

“Saya sih lebih percaya pak JK dari pada politisi tukang mewek dan tukang mencret. Lagian kalau selama 10 tahun nga ambil keputusan mana bisa ekonomi tumbuh rata-rata 6.8%, rasio utang turun, pendapatan per kapita rakyat naik 400% lebih. Emangnya yang sekarang mikir? Iya nga sih?” cuit Panca, dikutip Senin (25/10/2021).

Baca Juga: "Hasto Halu, Dendam Banget Dia Pung Bosnya Kalah Mulu Sama SBY"

Tak ketinggalan, sejumlah pengamat juga turut menyampaikan pendapatnya terkait polemik antara Hasto dari PDIP dengan pihak Demokrat ini. Menurut Pengamat komunikasi dan politik Jamiluddin Ritonga, penilaian Hasto tersebut tak memiliki dasar yang jelas.

"Syarat untuk membandingkan harus ada kriteria yang equal (setara) dan dapat dipertanggungjawabkan," jelas Jamiluddin, dikutip dari GenPI.co, Senin (25/10/2021).

Ia menyebut penilaian Hasto sangat subjektif dan sepihak. Ia menyarankan Hasto agar lebih mendalami lagi studi komparatif agar tak sepihak lagi dalam menilai.

"Hasil penilainya selain sangat subjektif juga sudah pasti sangat sepihak. Saya sarankan agar Hasto belajar studi komparatif agar tidak lagi sepihak dalam menilai," sambungnya.

Sementara itu, Pengamat politik Ujang Komarudin menyebutkan rezim Jokowi dan SBY itu sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Dia menyebutkan jika perbandingan dilakukan oleh orang dari bagian koalisi pemerintah pasti akan subjektif. Hal ini untuk menanggapi pernyataan Sekjen PDIP Hasto yang membandingkan era Jokowi dan SBY.

"Namun, Soal kebebasan berpendapat dan soal berdemokrasi, zaman SBY masih bagus. Dan aspirasi rakyat saat ini juga tak didengar," kata Ujang dilansir dari JPNN, dikutip Senin (25/10/2021).

Di sisi lain, dosen Universitas Al Azhar Jakarta itu menyebutkan rezim Jokowi dan DPR saat ini seakan abai dengan aspirasi masyarakat. Dia mencontohkan kasus revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan disahkannya UU Omnibus Law Cipta Kerja yang ditolak oleh rakyat.

"Jadi, rakyat banyak dibelakangi. Seperti itulah faktanya," tutur Ujang.

Lain hal dengan pengamat politik Muslim Arbi. Menurut Muslim, polemik kali ini cukup mengherankan karena biasanya, oposisi yang menyerang rezim, namun yang terjadi dalam hal ini justru sebaliknya.

"Perseteruan PDIP-Demokrat? Apakah PDIP pakai teori konflik? Bisa jadi. Teori konflik dipakai PDIP serang Demokrat? Tidak salah? di mana-mana biasanya di luar pemerintahan yang serang pemerintah, oposisi vs rezim. Ini terbalik, rezim serang partai non pemerintah (oposisi)," ujar Muslim pada Minggu (24/10/2021).

Ia menilai justru serangan yang dilancarkan Hasto terhadap Demokrat dan SBY justru malah menguntungkan Demokrat, karena hal ini dapat mendongkrak popularitas partai tersebut. Sehingga secara tidak langsung, PDIP telah membantu Demokrat lebih terkenal di kalangan masyarakat.

"Tidakkah itu PDIP sedang mengiklankan Demokrat bukan? Pastilah Demokrat akan bela diri dan berleluasa berkampanye dan konsolidir diri bukan? Bisa jadi ada hidden agenda oleh Sekjen PDIP (Hasto) serang dan tantang Demokrat itu. Publik akan buka memori kolektifnya soal Partai Demokrat saat dipimpin SBY," terangnya.

Baca Juga: Pengamat Bongkar Bedanya Era Jokowi dan SBY, Koalisi Pemerintah Pasti Subjektif, Nyatanya...

Terkait

Terpopuler

Terkini

Populis Discover