Akademisi Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Sholeh Basyari, turut menanggapi tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10/2022) yang menewaskan ratusan orang.
Menurutnya, insiden dalam tragedi Kanjuruhan itu jelas merupakan penghilangan hak hidup korban meninggal dunia.
Sholeh menekankan bahwa sebagai negara yang menandatangani International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Hak Sipil dan Politik), Indonesia harus menaatinya.
“Konsepsi HAM tentang hak sipil dan politik adalah hak yang tidak bisa dikurangi apalagi dihilangkan. Rumpunnya ialah hak hidup dan hak beragama,” kata Sholeh melalui keterangannya pada Minggu (9/10/2022).
Ia menjelaskan kalau para warga dan aktivis badan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu United Nations Comission on Human Right (UNHCR), bisa saja mengadu jika negara mengabaikan pemenuhan hal itu.
“Pelaporan menjadi penting dengan sejumlah hal berikut. Pertama, korban tidak tengah demo atau aktivitas menuntut hak. Kedua, aktivitas olahraga sejatinya steril dari politik,” pungkasnya.
Tak hanya itu, ia juga merasa perlu investigasi secara mendalam terkait jenis gas air mata yang ditembakkan oleh aparat bertugas dalam tragedi Kanjuruhan.
Sholeh menilai harus dikonfirmasi apakah gas air mata yang digunakan tersebut sesuai dengan standar atau justru ada campuran lain sehingga sangat mematikan.
Ia sendiri menyinggung soal kasus yang berkaitan dengan ‘kebijakan negara’ tapi dipersoalkan secara HAM, terlebih tragedi Kanjuruhan tidak ada kaitannya dengan stabilitas politik.
Ia menuturkan, “Kasus Talangsari Lampung, Timor timur, dan DOM Aceh yang jelas-jelas 'kebijakan negara' saja dipersoalkan secara HAM, apalagi tragedi Kanjuruhan yang tidak ada kaitannya dengan stabilitas politik.”
Lihat Sumber Artikel di JPNN.com Artikel ini merupakan kerja sama sindikasi konten antara Populis dengan JPNN.com.