Amnesty Indonesia Bantah Klaim Polri soal Gas Air Mata Gak Mematikan di Tragedi Kanjuruhan

Amnesty Indonesia Bantah Klaim Polri soal Gas Air Mata Gak Mematikan di Tragedi Kanjuruhan Kredit Foto: Save Our Soccer

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid membantah klaim Polri yang menyebut gas air mata di tragedi Kanjuruhan tak mematikan.

Menurut Usman, pernyataan Polri itu sebagai kesimpulan prematur. Ia menyebut, pernyataan Polri itu tidak empatik, dan mendahului proses investigasi yang masih berlangsung.

“Dalam beberapa pedoman internasional, gas air mata memang tidak lagi tergolong senjata yang ‘tidak mematikan’ atau non-lethal weapon. Jenis senjata ini juga sudah dinilai sebagai senjata yang ‘kurang mematikan’ atau less-lethal weapon. Tapi sejumlah pengalaman menunjukkan efek luka yang fatal dan bahkan berakibat kematian," kata Usman dalam keterangannya, Rabu (12/10/2022).

Baca Juga: Pak Polisi, Mengapa Gas Air Mata itu Dipergunakan dalam Situasi di Mana Tidak Jelas?

Apalagi, lanjut dia, jika gas air mata ini ditembakkan ke dalam area stadion, berisi puluhan ribu orang, sedangkan akses jalan penyelamatan diri tertutup atau terbatas. Maka Usman menilai sudah barang tentu gas air mata yang awalnya disebut tidak mematikan itu, menjadi penyebab atas banyak kematian seperti yang terjadi di Kanjuruhan.

"Kami mendesak agar Tim Gabungan Independen Pencari Fakta agar menelusuri apakah gas air mata yang dipakai polisi merupakan jenis CN (chloracetanophone) atau CS (chlorobenzalmonolonitrile). Efek jenis CS bisa lima kali lipat, jadi memang bisa mematikan," ungkapnya.

Usman mengatakan, senjata non-lethal weapon apa pun, meskipun tidak didesain untuk membunuh, tetap dapat membunuh jika dilakukan dalam konteks dan cara yang keliru. Setidaknya harus memenuhi empat prinsip, yaitu legalitas, nesesitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.

Baca Juga: Babe Haikal Tegas Tolak Dukung Prabowo Capres 2024, Lebih Jagokan Anies Baswedan!

Dalam kesempatan yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menambahkan dalam aturan FIFA bahkan penembakan gas air mata ke penonton di tribun telah dilarang.

"Jadi melanggar legalitas. Apalagi menembak ke arah tribun. Itu tidak perlu dan tidak proporsional sehingga melanggar prinsip nesesitas dan proporsionalitas. Karenanya harus ada akuntabilitas," ujar Wirya.

Menurut Wirya, pernyataan Polri sama seperti sikap pembelaan diri, yang hanya mencederai perasaan publik yang tengah berduka. Ironisnya karena pernyataan tersebut disampaikan pada hari yang sama ketika polisi di Malang melakukan aksi sujud yang simpatik.

Baca Juga: Anies Baswedan Undang Heru Budi Makan Siang di Balai Kota, Ngobrol Santai Sekaligus Ngasih PR

Maka wajar bila publik menilai aksi sujud anggota Polri terkait tragedi Kanjuruhan di Malang, Jawa Timur itu tak ada artinya. Karena, ia menilai seharusnya atas nama keadilan, dalam tragedi Kanjuruhan, pengusutan tidak boleh berhenti pada aksi simbolik ataupun sanksi administratif.

Seharusnya menurut dia, Mabes Polri lebih serius meminta warga yang menjadi saksi agar tidak takut bersuara. Jamin keselamatan mereka. Publik berharap semua yang terlibat, tanpa terkecuali, harus diproses hukum dengan sebenar-benarnya dan seadil-adilnya.

“Aparat keamanan, termasuk anggota polisi dan militer, harus menjadi teladan atas bagaimana keadilan dan akuntabilitas hukum ditegakkan secara benar dan adil," katanya.

Baca Juga: Irjen Dedi Disentil Anggota DPR Abis Buat Pernyataan Soal Gas Air Mata di Tragedi Kanjuruhan, Jleb Banget! Kapolri Juga Diminta...

Sebelumnya, Mabes Polri menegaskan penggunaan gas air mata dapat menimbulkan iritasi mata, pernafasan dan gangguan pada kulit. Tetapi, belum ada jurnal ilmiah yang menyebutkan gas air mata mengakibatkan fatalitas atau kematian seseorang.

"Kalau misalnya terjadi iritasi pada pernafasan, sampai saat ini belum ada jurnal ilmiah menyebutkan bahwa ada fatalitas gas air mata yang mengakibatkan orang meninggal dunia," kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo, dalam konferensi pers di Mabes Polri, Senin (10/10).

Dedi mengungkapkan, saat berkunjung ke Rumah Sakit Umum Daerah Saiful Anwar Malang bersama Forkopimda Jawa Timur usai tragedi Kanjuruhan, dijelaskan oleh dokter spesialis (paru, penyakit dalam, THT, dan mata) yang menangani korban baik yang meninggal dunia maupun luka-luka, tidak satu pun dokter yang menyebutkan bahwa penyebab kematian korban adalah gas air mata.

"Penyebab kematian adalah kekurangan oksigen karena terjadi desak-desakan, terinjak-injak, bertumpuk-tumpukkan, mengakibatkan kekurangan oksigen di pintu 13, pintu 11, pintu 14, dan pintu 3. Ini jatuh korban cukup banyak, jadi perlu saya sampaikan seperti itu," ungkap Dedi.

Lihat Sumber Artikel di Republika Artikel ini merupakan kerja sama sindikasi konten antara Populis dengan Republika.

Terkait

Terpopuler

Terkini

Populis Discover