Mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) angkat bicara setelah program yang ia besut yakni posko pengaduan masyarakat di Balai Kota Jakarta kembali diaktifkan Penjabat Gubernur Heru Budi Hartono.
Program itu sebelumnya dihapus Anies Baswedan setelah resmi menjabat Gubernur DKI Jakarta. Posko pengaduan yang dibuka di pendopo Balai Kota itu berfungsi untuk menerima aduan masyarakat yang menemukan berbagai masalah di lingkungan tempat tinggalnya.
Ahok sangat mengapresiasi keputusan Heru Budi yang memilih mengaktifkan kembali program yang sudah hilang selama lima tahun itu. Eks Bupati Belitung Timur ini berharap dengan pembukaan kembali posko tersebut semakin banyak masyarakat yang terbantu.
“Semoga banyak warga merasakan manfaatnya langsung,” kata Ahok ketika dikonfirmasi Populis.id Kamis (20/10/2022).
Menurut Ahok dengan adanya posko tersebut, maka Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak bisa lagi berleha-leha. Lagipula posko pengaduan ini dinilai lebih efektif sebab sebab masyarakat langsung bisa bertemu pejabat Pemprov DKI Jakarta dan mengutarakan masalahnya.
Ini berbeda dengan sistem pengaduan secara daring lewat aplikasi Qlue yang dibesut di masa kepemimpinannya. Menurut Ahok tidak semua masyarakat mengerti menggunakan aplikasi ini, lagi pula pengaduan secara daring kerap telat direspons.
"Biar warga DKI merasa ada pejabat yang menjadi pelayan mereka. Siapa yang mau posisi tertinggi, dia yang harus paling banyak melayani rakyat," tegasnya.
Warga Adukan Pungli Era Anies Baswedan
Pada Selasa (18/10/2022) atau hari pertama Posko pengaduan ini diaktifkan sejumlah masyarakat langsung mendatangi Balai Kota membawa berbagai masalah yang mereka hadapi selama ini. Pada hari itu, total ada 7 aduan masyarakat yang diterima Pemprov DKI Jakarta.
Martina Gunawan, warga Bambu Apus, Jakarta Timur mengeluhkan pungutan liar (pungli) dan pemerasan yang dihadapi selama beberapa tahun terakhir ini, lebih tepatnya pungli yang dilakukan oknum pegawai Pemprov DKI Jakarta semasa era Anies Baswedan.
"Kami mengajukan lahan ini untuk dibebaskan oleh Pemprov DKI Jakarta, mulai dari tahun 2016. Setelah dilihat zonasinya, lahan milik kami ini hijau. Sehingga kami diberikan disposisi agar melanjutkan ke Dinas Kehutanan pada saat itu," kata Martina.
"Kami merasa dilakukan tidak profesional, memihak, bertele-tele, dan ada permintaan uang oleh oknum UPT di Dinas Taman. Nilainya variatif mulai dari Rp150 juta sampai 2,5 persen (dari nilai lahan). Tapi saya tidak mau bayar sepeser pun Terus terang kami sebagai warga biasa kami mengalami kebingungan," tambahnya.