Harits menambahkan, pemantauan itu bukanlah tugss rakyat maupun organisasi masyarakat (ormas). Namun, hal ini menjadi kewenangan lembaga negara.
"Jadi kita dorong bagaimana, lembaga-lembaga pemerintah yang terkait itu meningkatkan kapasitasnya lebih profesional, jangan ukuran berhasil itu kalau dana yang dianggarkan habis, tapi lebih pada soal hasil gimana dana itu digunakan," ungkap Harits.
"Dan kemudian betul-betul bisa menciptakan efektivitas keamanan dan bisa menekan semaksimal mungkin potensi-potensi yang mengancam keamanan masyarakat, khususnya dari ancaman terorisme," tambahnya.
Sebelumnya, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengakui keterbatasan anggotanya ikut mempengaruhi pengawasan terhadap narapidana terorisme. Terutama mereka yang sudah dibebaskan.
"Kan tidak mungkin kita saja yang mengawasi, kita minta bantuan kepada Polri yang terakses dari Sabang sampai Merauke, sampai tingkat kelurahan, desa ada semuanya," tutur Kepala BNPT Suhardi Alius di sela-sela agenda pembahasan revisi UU terorisme di Jakarta, Selasa (6/12).
Baca Juga: Jadi Tamu Dipernikahan Kaesang dan Erina, Undangannya Posting di Medsos, Terus Bilang Gak Bisa Hadir, Rizal Ramli Kena Disosor: Norak!
Karena itu, BNPT menandatangani nota kesepahaman dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk penanggulangan dan pencegahan terorisme di Indonesia. Nota kesepahaman ini diperlukan untuk membantu mengawasi narapidana yang telah bebas dari tahanan Lapas.
BNPT selama ini dibantu oleh Densus 88 untuk melakukan penegakan hukum terhadap aksi terorisme. Sementara untuk pengawasan, BNPT menilai perlu dilaksanakan kerja sama dengan lembaga lain, yakni Polri.
Apalagi, mulai Januari depan, pihaknya akan menggunakan pusat deradikalisasi di daerah Sentul, Bogor. Di sana, mantan teroris mendapat rehabilitasi salah satunya dari sisi psikologis dan agamanya.
Lihat Sumber Artikel di Republika Artikel ini merupakan kerja sama sindikasi konten antara Populis dengan Republika.