Juru bicara Habib Rizieq Shihab (HRS) Aziz Yanuar mengkritik keras sejumlah pasal dalam KUHP yang disahkan baru-baru ini. Salah satu pasal yang disorot adalah soal larangan penghinaan terhadap presiden dan pejabat negara, pasal ini dikritik lantaran dinilai dapat dipakai menjadi alat membungkam kritik masyarakat.
Menurut Aziz, dengan adanya pasal larangan penghinaan terhadap Presiden, maka bisa disimpulkan bahwa pemerintah sekarang ini masih bermental seperti penjajah, rakyat seolah-olah dipaksa untuk menuruti semua kemauan pemerintah tanpa harus banyak protes.
“Untuk RKUHP Pasal soal penghinaan presiden. Itu jelas pasal-pasal yang tidak mencerminkan perubahan dari watak kolonialisme penjajah,” kata Aziz kepada wartawan Jumat (9/12/2022).
Aziz sangat menyayangkan adanya pasal tersebut dalam KUHP, sebab hal ini justru melenceng dari semangat untuk merevisi KUHP yang lama, di mana KUHP warisan Belanda itu dinilai sudah tak relevan diterapkan sekarang ini.
“Padahal semangat KUHP baru ini untuk lepas dari mental penjajahan,” ujarnya.
Aziz Yanuar juga menduga, disahkannya RKUHP perihal pasal penghinaan presiden tujuannya tak lain presiden ingin menjadi raja terhadap rakyatnya. Padahal dalam Undang-undang presiden dan pejabat itu harusnya sebagai pelayan masyarakat bukanlah raja.
“Bertindaklah sebagai pelayan bukan sebagai raja. Pelayan itu senang harusnya dikritik dan wajar jika dikritik atau dikoreksi. Karena memang mereka dibayar untuk melayani masyarakat dan negar. Dan faktanya demikian karena rakyat bayar pajak dan pemerintah menyedot SDA negara dengan kewenangan mereka,” ujarnya lagi.
Sebelumnya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (6/12/2022). Berdasarkan draf RKUHP yang disahkan dan bertanggal 6 Desember 2022, terdapat pasal yang mengatur tentang penghinaan pemerintah dan lembaga negara.
Penghinaan terhadap pemerintah atau lembaga negara diatur dalam Pasal 240, dan Pasal 241 RKUHP. Dalam Pasal 240 Ayat (1) disebutkan penghinaan pada presiden atau lembaga negara di muka umum diancam podana maksimal 1,5 tahun atau denda kategori II (maksimal Rp 10.000.000).
Sedangkan Pasal 241 Ayat (1) menjelaskan penghinaan pemerintah atau lembaga negara melalui sarana teknologi informasi diancam pidana paling lama 3 tahun atau denda kategori IV.