Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudrikstek) telah menetapkan Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS).
Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Andy Yentriyani menuturkan pada tahun 2020, angka kasus kekerasan seksual khususnya terhadap perempuan terus meningkat.
“Tahun ini terdapat 2.389 kasus kekerasan. 53i jumlah tersebut adalah kasus kekerasan seksual, termasuk di dalam lembaga pendidikan. Ini adalah kasus yang berhasil dilaporkan ke Komnas Perempuan. Banyak kasus yang tidak terlaporkan sama sekali,” ujar Andy dalam peluncuran Merdeka Belajar episode 14: Kampus Merdeka dari Kekerasan Seksual pada Jumat (12/11/2021).
Lebih lanjut, Andy menyampaikan bahwa kasus kekerasan seksual, bisa terjadi terhadap mahasiswi oleh mahasiswa atau oleh dosen, atau dosen terhadap dosen yang lain, ataupun juga terhadap karyawan ataupun pekerja lain di dalam lingkungan pendidikan.
“Konsep menyalahkan kekerasan seksual sebagai tindakan suka sama suka menjadi hambatan terbesar dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual,” tegas Andy.
Baca Juga: Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021 Banyak Disudutkan, Mas Menteri Buka Suara
Untuk itu, kata Andy, Permendikbudristek PPKS ini penting untuk hadir khususnya di perguruan tinggi.
“Komnas Perempuan sangat mengapresiasi Permendikbudristek PPKS yang diterbitkan dibawah kepemimpinan Mas Menteri. Terutama Pasal 19 yang menekankan bahwa jika upaya untuk menyikapi, baik itu pencegahan dan penanganan kekerasan ini tidak dilakukan maka juga ada sanksi. Bukan hanya saja kepada pelaku tetapi kepada lembaga pendidikan itu sendiri,” tuturnya.
Pada kesempatan yang sama, pakar hukum dan dosen Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Bivitri Susanti, mendukung hadirnya Peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 ini melengkapi kerangka hukum yang saat ini sudah ada.
“Permendikbudristek PPKS ini keluar karena intinya adalah, semua orang yang bisa melakukan sesuatu dan punya kewenangan sesuai kapasitasnya harus terus bergerak. Karena angka kasus kekerasan seksual ini bukan sekadar angka. Satu saja yang menjadi korban, itu adalah manusia yang jadi korban,” tutur Bivitri.
Bivitri menekankan, jika di masyarakat ada yang mempertanyakan boleh atau tidak seorang menteri membuat peraturan seperti ini, ia menjawab dengan tegas, boleh.
“Dalam teori hukum ada wewenang membuat peraturan berdasarkan atribusi, di mana dalam hal ini wewenang untuk mengatur kampus-kampus adalah milik Kemendikbudristek,” jelasnya.
Terkait sebagian kecil publik yang mempermasalahkan kata ‘tanpa persetujuan’ seakan menjadi boleh untuk melakukan hubungan seksual jika ada persetujuan. Bivitri menilai alasan tersebut tidak berdasar.
“Saya sebagai pembelajar hukum sangat terganggu. Karena dalam hukum, terutama dalam sistim hukum Indonesia, bukan begitu cara berpikirnya. Tidak semua yang tidak diatur dalam sebuah peraturan maka menjadi boleh. Tidak seperti itu,” jelasnya seraya menggarisbawahi bahwa Permendikbudristek ini khusus mencegah dan menangani kekerasan seksual, bukan mengatur soal-soal lainnya.
Terakhir Bivitri juga menjawab mispresepsi masyarakat terkait perlindungan bagi pelaku kekerasan di kampus sehingga tidak perlu dibawa ke ranah penegakan hukum.
Bivitri melihat bahwa Permendikbudristek ini mengatur dari dua sisi, yaitu pencegahan dan pendampingan.
“Permendikbudristek PPKS mengatur juga pendampingan hukum. Pendampingan hukum untuk siapapun itu, bisa mahasiswa atau dosen, bisa melakukan pelaporan. Jadi, tidak menghilangkan atau memberikan imunitas untuk pelaku, tapi didampingi agar kasusnya bisa selesai,” ujarnya.