Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI), Hidayat Nur Wahid, mengkritik putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilu.
Hidayat menegaskan bahwa hal itu bentuk pelanggaran terhadap Konstitusi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sehingga harus dikoreksi oleh pengadilan di atasnya.
“Putusan PN Jakarta Pusat tersebut bukan hanya tidak memiliki dasar hukum yang kuat, tetapi terutama juga secara jelas melanggar UUD NRI 1945 dan UU Pemilu. Saya mempertanyakan kompetensi hakim yang memutus perkara tersebut. Wajarnya Komisi Yudisial memeriksa Hakim yang memerintahkan penundaan Pemilu itu,” katanya saat dihubungi Populis.id pada Jumat (03/03/2023).
Baca Juga: ‘Aneh! Bisa-bisanya PN Jakpus Putuskan Tunda Pemilu Cuma Gegara Partai Baru yang Tidak Dikenal!’
HNW sapaan akrabnya menjelaskan bahwa UUD NRI 1945 secara tegas menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 22E ayat (1) UU Pemilu.
“Putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan menunda pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari sejak diucapkannya putusan, tidak sesuai dengan ketentuan Konstitusi, karena Pemilu yang akan datang baru bisa diselenggarakan pada akhir Juli tahun 2025. Itu jelas melanggar ketentuan UUD bahwa Pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali," tegasnya.
"Dengan amar putusan PN itu, Pemilu tidak bisa diselenggarakan 5 tahun sekali, karena Pemilu terakhir dilaksanakan pada 2019, maka menjadi harga mati bahwa pemilu berikutnya diselenggarakan pada tahun 2024, bukan tahun 2025 sebagaimana amar putusan PN itu,” sambungnya.
Apalagi, lanjut HNW, dengan ditundanya Pemilu hingga Juli tahun 2025 sebagaimana amar putusan PN, akan menimbulkan pelanggaran ketentuan Konstitusi lainnya terkait masa jabatan Presiden, yang sesuai dengan pasal 7 UUD NRI 1945 akan selesai pada Oktober 2024.
Sehingga kalau Pemilu ditunda hingga Juli 2025, kekuasaan Eksekutif baik (Presiden dan para Menteri) dan Legislatif (DPR, DPD dan MPR) yang tidak memiliki basis legitimasi konstitusional.
“Bila demikian, maka akan terjadi chaos Politik yang membahayakan eksistensi dan kelanjutan Negara Kesatuan Republik Indonesia,” tukasnya.