Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belakangan menjadi sorotan publik akibat seorang peneliti mengeluarkan ancaman terhadap warga Muhammadiyah. Hal itu disebut muncul karena persoalan ekosistem riset baru yang belum dapat diwujudkan hingga sekarang.
“Peneliti seperti mengalami disorientasi sehingga tidak fokus pada bidang risetnya dan cenderung terbawa arus untuk bicara yang bukan kepakarannya,” ujar peneliti utama tata kelola dan konflik pada Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri (PRPDN) BRIN, Poltak Partogi Nainggolan, pada Jumat (28/4/2023).
Menurut Poltak, peneliti jadi sulit membedakan sumber data yang objektif atau tidak di dalam unggahannya hanya karena ingin cepat berpendapat dan dinilai well-informed. Dia menilai, persoalan juga dapat terjadi akibat upaya peleburan 11 ribu lebih peneliti dari seluruh institusi kementerian dan lembaga lintas disiplin dan kepakaran.
“Dengan leadership dan management yang tidak cakap, termasuk urusan personel, akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru,” kata dia menjelaskan.
Poltak mengatakan, pernyataan kedua peneliti BRIN yang dipersoalkan itu menjadi opini yang subjektif dan tidak ilmiah, yang keluar dari kontrol kepakarannya. Menurut dia, kondisi realistis yang tengah berlangsung di ekosistem baru BRIN dapat memengaruhinya. Jika tidak diperbaiki, menurut dia, perkembangan yang lebih memprihatinkan bisa terjadi.
“Antara lain, yang saya lihat sendiri, akibat pimpinan BRIN terus ngotot dengan hasil kerja minimal (HKM) sebagai luaran kinerja, dalam kondisi terancam sanksi PHK jika tidak terpenuhi, peneliti BRIN akan terjebak dalam manipulasi karya,” kata dia.
Lihat Sumber Artikel di Republika Artikel ini merupakan kerja sama sindikasi konten antara Populis dengan Republika.