Wakil Ketua Umum Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia, Fahri Hamzah blak-blakan soal biaya yang dibutuhkan seorang calon pemimpin dalam Pemilihan Umum di Indonesia. Dia mengatakan, gelaran pesta demokrasi lima tahunan itu jelas butuh biaya jumbo, bahkan hanya menjadi calon legislatif saja, biaya yang digelontorkan hingga Rp11,6 triliun.
"Dibutuhkan dana jumbo untuk membiayai seseorang dalam kontestasi politik. Untuk biaya seseorang mendapat kursi di DPR RI saja, butuh dana keseluruhan sebesar Rp11,6 Triliun," kata Fahri Hamzah di acara Your Money Your Vote bertajuk 'Uang Haram di Pusaran Pemilu 2024', Sabtu (27/5/2023).
Dengan ongkos politik gila-gilaan itu, Fahri mengatakan orang-orang yang duduk di kursi DPR RI jelas datang dari keluarga orang kaya. Masyarakat ekonomi kelas menengah ke bawah jelas tidak sanggup mencalonkan diri apabila biaya politik semahal itu.
"Makanya, tak heran banyak orang kaya yang selalu terpilih menjadi anggota DPR RI, setiap pemilu. Lantaran mereka punya kekuatan finansial. Tentu ada orang-orang kaya yang merem saja dia (memang). Nggak perlu ke dapilnya, dia cuma kirim truk logistik, dia kirim uang, dia kirim segala macam. Dan orang ini di DPR RI nggak pernah berbicara, nggak pernah menyatakan pendapat, tapi setiap tanggal 20 Oktober per lima tahunan dia dilantik. Kenapa? Karena uangnya banyak betul orang ini," ungkap Fahri.
Selain menyoroti ongkos politik buat calon legislatif, Fahri Hamzah juga menyoroti biaya untuk maju menjadi calon presiden, kata dia ongkos paling minimal yang dibutuhkan seorang capres adalah sekitar Rp5 triliun, untuk batas maksimalnya jelas melampaui ongkos caleg.
Fahri kemudian blak-blakan mengenai sumber dana buat seorang Capres, dengan ongkos sebesar itu kata dia mustahil ada yang mau mencapreskan diri jika harus mengeluarkan uang pribadi. Fahri mengatakan, lazimnya ongkos untuk seorang capres datang dari para donatur.
Dengan demikian kata Fahri, pertarungan dalam memilih pemimpin itu bukan soal adu gagasan, tapi adu logistik. Karena itu, lanjut dia, harus dipikirkan secara serius bagaimana caranya membiayai yang mahal di dalam demokrasi ini, supaya biaya mahal itu justru tidak menjadi sumber korupsi.