Mengapa Indonesia Masih Terjebak dalam Demokrasi Kultus? Tidak Baik, Lho bagi Pilpres 2024 Nanti

Mengapa Indonesia Masih Terjebak dalam Demokrasi Kultus? Tidak Baik, Lho bagi Pilpres 2024 Nanti Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A

Budaya demokrasi kultus terhadap suatu tokoh politik tampaknya bukan hal asing bagi masyarakat Indonesia. Hal ini seperti sudah mengakar menjadi sebuah hal yang mengganggu kemurnian demokrasi yang mana merupakan dasar dalam bernegara di Tanah Air.

Semua tahu bahwa sosok Presiden Pertama RI, Ir. Soekarno bagi sebagian besar orang bukanlah hanya sekadar sosok seorang presiden semata, melainkan sudah menjadi seorang sosok yang paling berjasa dalam membawa negara ini merdeka dari cengkraman penjajahan bangsa asing. Jarang ada sosok pahlawan kemerdekaan nasional yang memiliki reputasi sebesar Soekarno, tanyakan pada sebagian masyarakat, lebih mengenal Soekarno atau Sutan Sjahrir, tentu mereka akan menyebut Soekarno.

Lebih jauh, Soekarno bahkan bukan hanya menjadi sebuah tokoh, melainkan sebuah ideologi yang mana begitu didewakan. Kita mungkin pernah mendengar istilah 'Soekarnoisme' yang mana dianut oleh sebagian kelompok politik. Paham ini terkesan seakan menganggap Indonesia secara garis besar lahir dan berawal dari Soekarno.

Di masa kini saja, ada kecenderungan setiap jelang diadakannya Pemilu, terdapat tradisi dimana tokoh politik yang akan bertarung dalam Pemilu akan melakukan kunjungan ke makam Soekarno, seakan mereka berharap akan kecipratan 'berkah' dari sang proklamator. 

Adapula sang putri, Megawati Soekarnoputri beberapa waktu lalu sempat berencana ingin membangung patung Soekarno di berbagai daerah di Indonesia. Seakan, Soekarno merupakan tokoh utama dalam perjalanan bangsa Indonesia selama ini. Padahal kita tahu, tak semua daerah di Indonesia menganggap Soekarno sebagai sosok sentral. Jika bicara jasa, pahlawan-pahlawan lainnya pun pantas untuk dibangunkan patung diri mereka layaknya Soekarno.

Baca Juga: Megawati Disebut Ngebet Ingin Patung Soekarno Dibangun di Semua Daerah, Sedang Ciptakan Berhala?

Soekarno seakan begitu didewakan jasanya terhadap kemerdekaan. Memang kita tahu jasa Soekarno begitu besar bagi kemerdekaan bangsa Indonesia, hanya saja sejarah juga mencatat bahwa begitu banyak tokoh lain yang memiliki jasa yang sama besarnya dengan Soekarno. Perbedaan di antara mereka hanya terletak pada peran masing-masing dalam melakukan sumbangsih atas kemerdekaan.

Contoh saja Sjahrir, kita mungkin tidak akan mendengar proklamasi yang dibacakan Soekarno dan merebut kemerdekaan secara mandiri apabila Sjahrir saat itu tidak bergerak bersama barisan pemuda di sekelilingnya. Kita tahu bahwa Jepang saat itu sudah menjanjikan kemerdekaan bagi Indonesia lewat Bung Karno dan Bung Hatta, menyusul kekalahan pasukan Hirohito tersebut di Perang Dunia Kedua.

Sjahrir, yang saat itu dikenal banyak berseberangan dengan Bung Karno justru merupakan sosok penting yang menginspirasi kaum tua agar berani untuk mendeklarasikan kemerdekaan secara mandiri, bukan atas pemberian penjajah. Sjahrir lah yang meyakinkan kaum tua bahwa Jepang tak lama lagi akan segera kalah dan tak ada gunanya lagi berunding dengan mereka dan mengharapkan 'hadiah' kemerdekaan.

Terbukti, pemikiran Sjahrir sangat benar. Rakyat sudah haus akan kemerdekaan dan tidak mau menunggu lebih lama. Mereka lebih percaya akan kepastian yang digenggam tangan sendiri daripada menunggu ketidakpastian dari genggaman tangan penjajah yang sangat mungkin tidak bisa menepati janji mereka. Buktinya, Cirebon bahkan mendeklarasikan kemerdekaan lebih dulu, dua hari sebelum Soekarno membacakan teks proklamasi di Pegangsaan Timur.

Belum lagi semasa pemerintahan Soekarno setelah bercerai dengan Bung Hatta sebagai pasangan Presiden dan Wakil Presiden, banyak sekali kebijakan-kebijakannya yang dikritik oleh rakyat. Bahkan tak jarang menimbulkan perpecahan, sebutlah puncaknya pada peristiwa G30S yang menjadi tonggak kejatuhan Soekarno. Hal ini membuktikan bahwa sebesar apapun pengaruh Soekarno atas bangsa ini, tak berarti dirinya tak memiliki celah hingga begitu pantas untuk dikultuskan.

Sama halnya dengan Presiden Kedua RI Soeharto yang disebut-sebut sebagai bapak pembangunan dengan rezim Orde Baru-nya yang dikenal otoriter dan korup. Kita semua tahu bahwa Soeharto adalah lawan politik bagi Soekarno, terlebih banyak catatan sejarah yang menyebut bahwa Soeharto adalah dalang dibalik kudeta kejatuhan Soekarno. Ada sebuah budaya tersendiri bagi para Soekarnois dalam pandangan mereka terhadap Soeharto, dimana mereka selalu mengkultuskan Soekarno dan menganggap Soeharto layaknya iblis.

Di samping itu, Soeharto sendiri juga pernah dikultuskan seakan dirinya merupakan tokoh sentral yang menjadi pahlawan dalam penumpasan PKI yang dituding sebagai dalang peristiwa G30S. Bahkan dirinya sampai menjadi tokoh utama yang digambarkan sebagai pahlawan dalam film-film kontroversial seperti Janur Kuning (1979) dan Pengkhianatan G30S PKI (1984). Padahal sudah banyak sekali pro-kontra terkait kebenaran sejarah dalam film-film tersebut, bahkan ada beberapa narasi yang menyebut bahwa justru Soeharto-lah dalang dibalik perisiwa tersebut.

Bagaimanapun, memang benar, kita tahu Soeharto telah menyisakan banyak catatan kelam bagi perjalanan bangsa ini, namun bukan berarti ia layak dianggap seperti iblis. Sama halnya seperti Soekarno, meskipun dijuluki proklamator bangsa, bukan berarti dirinya layak dikultuskan. Keduanya sama-sama memiliki sumbangsih juga dosa bagi perjalanan bangsa Indonesia, keduanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekurangan dalam eranya masing-masing.

Kita cukup ingat saja kata Gus Dur, bahwa Soeharto memiliki jasa yang besar bagi bangsa ini, meskipun dosanya pun sama besarnya. Kita harus mengakui bahwa pembangunan besar-besaran Indonesia terjadi pada era Soeharto. Banyak pula rakyat yang masih merindukan masa-masa Orde Baru yang menurut mereka harga kebutuhan pokok begitu murah di masa itu. Hal ini mengindikasikan bahwa setiap tokoh politik tak layak dikultuskan, namun tak layak pula di-iblis-kan. 

Baca Juga: Fadli Zon Beri Jawaban Telak Buat Ibu Mega: Perjuangan Kemerdekaan bukan Milik Soekarno Sendiri

Contoh terbaru mungkin dapat dilihat pada Pilpres 2019 lalu yang mana mempertemukan sosok Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto untuk kedua kalinya sejak pertama kali bersaing di Pilpres 2014 silam. Saat itu, dapat dlihat terdapat sebuah polarisasi dimana antara pendukung Jokowi dan pendukung Prabowo sangat jelas berseberangan dan sama-sama saling mengkultuskan tokoh dukungan mereka dan menganggap yang berseberangan sebagai sebuah ancaman dan terkesan dihindari.

Terjebaknya Indonesia dalam demokrasi kultus yang kental sempat diamini oleh Direktur Eksekutif Charta Politica Yunarto Wijaya. Menurutnya, Indonesia terjebak dalam situasi tersebut dikarenakan kebiasaan masyarakat yang terpusat pada penghormatan secara berlebihan kepada individu atau paham tertentu, alih-alih menempatkan titik berat terhadap gagasan besar demokrasi. Ia memberikan contoh terkait persaingan antara Jokowi dan Prabowo pada Pilpres 2019.

"Pilpres 2019 adalah pertarungan antara masyarakat yang mengkultusukan sosok dengan latar belakang sederhana (Jokowi) dan militer (Prabowo) serta pertarungan antara masyarakat yang mengkultuskan orang tanpa beban di masa lalu dan dengan sosok dari masa lalu. Dan pengkultusan itu ditunjukkan dengan adanya masyarakat yang memilih Jokowi karena benci Prabowo dan sebaliknya, politik seperti ini yang membuat masyarakat kita saat ini terbelah," jelasnya.

Hal ini, menurutnya tak sejalan dengan semangat reformasi, karena cenderung melihat sesuatu lewat nilai melainkan berdasarkan personalisasi. 

"Ini tentu saja tidak sejalan dengan reformasi. Semangat reformasi tak lagi membicarakan mendukung siapa atau melawan siapa. Tapi, membawa nilai-nilai yang dibawa dalam agenda reformasi," tegasnya.

Fenomena ini bukan tidak mungkin akan terjadi lagi pada Pilpres 2024 mendatang. Pasalnya, kasus pandangan masyarakat terhadap tokoh-tokoh yang dianggap sebagai bakal capres saat ini masih sama seperti yang sudah-sudah, yakni masih sangat bergantung dengan pertarungan elektabilitas, dimana tingkat elektabilitas tersebut sendiri cenderung didasarkan bukan pada gagasan sang tokoh, melainkan personal mereka.

Hal tersebut tentu saja menghambat peluang-peluang munculnya tokoh-tokoh pembaharu yang juga memiliki kapabilitas yang sama untuk menjadi capres dengan para tokoh-tokoh capres yang muncul di lembaga survei, bahkan berpeluang mendobrak gagasan yang lebih inovatif.

Baca Juga: Bikin Pilpres Monoton, Presidential Threshold Diserang Ramai-ramai Agar Dihapuskan

Partai-partai politik yang ada saat ini saja justru juga sama-sama terjebak dalam fenomena demokrasi kultus tersebut. Banyak partai-partai politik yang masih terjebak dengan mengusung capresnya berdasarkan ketokohan dan bukan gagasan yang dibawa. Masyarakat kini memandang parpol bukan dari gagasan, melainkan ketokohan. Sebutlah PDIP yang pada 2014 lalu reputasinya moncer karena masyarakat melihat ketokohan Jokowi, atau Gerindra yang notabene partai baru dan sejauh ini belum memiliki gebrakan besar namun memiliki ketokohan Prabowo. 

Padahal semua tahu bahwa pada Pemilu 2009 lalu mereka kalah telak dari Partai Demokrat yang ditunggangi oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Meskipun dalam hal ini, Demokrat juga sama saja cenderung mengkultuskan sosok SBY. Hal ini tentu saja tidak sehat bagi kondisi demokrasi Indonesia di masa depan apabila tidak segera diubah.

Partai politik tampak seperti tenggelam dalam pragmatisme pimpinan. Menurut Yunarto, politikus-politikus yang mencoba mendobrak situasi ini justru kerap gagal karena cenderung terbentur dengan persoalan akar rumput yang juga memiliki patron kuat terhadap ketua umum parpol. Mereka berpotensi akan kehilangan suara apabila terus mencoba melawan arus, meskipun mereka memiliki gagasan bernilai.

Untuk itulah, Yunarto berharap agar politik yang mengedepankan gagasan haruslah dimulai dari para elit parpol sendiri dan masyarakat secara tidak langsung akan mengikuti. Mereka perlu mengangkat kembali demokrasi nilai pada Pilpres 2024 dan seterusnya setelah Indonesia tenggelam dalam demokrasi kultus yang puncaknya terjadi pada Pemilu 2019.

"Hal itu untuk menyelamatkan nasib bangsa Indonesia di tahun 2024 dan tahun-tahun berikutnya," pungkasnya.

Soekarno dan Soeharto, Jokowi dan Prabowo, Ahok dan Anies, ataupun para tokoh politik lainnya tentu masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Mereka tidak pantas dikultuskan secara personal karena pada dasarnya demokrasi lahir dari sebuah gagasan dan harus diperjuangkan dengan gagasan pula. Tak elok apabila masyarakat menggunakan hak demokrasinya hanya untuk memilih sosok pemimpin lewat sebuah pengkultusan semata.

Bisa jadi, sosok yang dikultuskan tidak memiliki gagasan yang lebih baik daripada sosok yang tidak dikultuskan. Untuk itu, tampaknya masyarakat harus lebih melengkapi subjektivitasnya dengan pandangan objektif agar dapat melihat nilai-nilai dari setiap sosok pemimpin melalui gagasan-gagasan yang mereka bawa, bukan hanya dari personalnya.

Baca Juga: Parpol Semakin Sulit Tembus Pemilu, Harus Gimana?

Terkait

Terpopuler

Terkini

Populis Discover