Elektabilitas yang dimiliki oleh Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) terus mengalami penurunan. Koalisi yang terdiri dari Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) elektabilitasnya terus mengalami penurunan. Kira-kira apa ya penyebabnya?
Dilansir dari berbagai sumber, penurunan elektabilitas KIB dikarenakan beberapa hal, salah satunya adalah KIB yang belum juga mendeklarasikan Capres (Calon Presiden) dan Cawapres (Calon Wakil Presiden) sehingga kepercayaan masyarakat terhadap KIB kian menurun.
Diketahui, semula Partai Golkar yang selalu masuk tiga besar kini hanya mencapai 7,9 persen. Demikian juga dengan PAN yang hanya 3,1 persen dan juga PPP yang hanya 1,7 persen.
Selain itu, Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) juga hanya mengandalkan suara yang mendukung pemerintah (ceruk elektoral). KIB tidak memanfaatkan dengan baik untuk bisa menggaet suara dari yang kontra dengan pemerintah. Padahal suara yang kontra dengan pemerintah cukup banyak dan bisa dimaksimalkan untuk mengambil hati untuk memenangkan di pemilu 2024.
Baca Juga: KIB Resmi Dukung Anies Baswedan Sebagai Capres, Apa Benar?
Lebih lanjut, inovasi dan gebrakan baru juga belum ada di Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) sehingga masyarakat belum mengetahui dan melihat apa yang membedakan KIB dengan koalisi yang lainnya. Selain itu, dilansir dari berbagai sumber elektabilitas KIB menurun juga disebabkan oleh adanya pergeseran dari partai politik ke tokoh. Kebanyakan hasil survei sangat didominasi oleh faktor figur tokoh, sehingga pertarungan Capres 2024 hanya ramai oleh beberapa tokoh/orang.
Kekuatan figur memang sangat besar ketimbang partai politik atau koalisinya. Sehingga media sosial dan masyarakat hanya menyorot sosok figur daripada koalisinya. Parttai politik hanya sebagai tiket saja jika diibaratkan.
"Hasil survei hari ini sangat didominasi oleh faktor figur tokoh, bukan parpol atau koalisi. Akibatnya pertarungan capres yang ramai hanya tiga, Ganjar Anies dan Prabowo. Artinya the power of figur lebih gede daripada parpol," ujar Teguh selaku pengamat politik Universitas Diponegoro.